HUKUM MEMILIH PEMIMPIN
MEMILIH PEIMPIN
NON-MUSLIM
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا
الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat agamamu
sebagai olok-olok dan mainan baik dari kalangan ahli kitab sebelum kamu maupun
orang kafir sebagai wali. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang yang
beriman.”
Muqaddimah
Membicarakan masalah pemimpin adalah
sesuatu yang tidak pernah habis. Tidak terkecuali masa lalu, sekarang dan akan
datang. Pembicaraan mengenai pemimpin banyak dibahas dan dianalisa dari berbagai
sudut pandang yang bermacam-macam. Dalam kesempatan ini kita akan membicarakan
tentang pemimpin dalam perspektif Islam.
Sebagai seorang muslim, sudah barang
tentu, Islam menjadi sumber acuan aktifitas, motifasi, inspirasi dan landasan
spiritual dalam menggerakkan roda kehidupan sosialnya. Karena muara seluruh
perjuangan/jihad seorang pemimpin atau masyarakat dalam Islam tidak ditujukan
kepada tujuan rendah seperti popularitas, akumulasi ekonomi, prestise,
kedudukan sosial, tetapi untuk memperjuangkan kedaulatan Allah di bumi dengan
mengamalkan syari’at-Nya. Agar tercipta susana rahmat yang pernuh keadaban dan
akhlakul karimah dalam kehidupan sosial.
Islam
merupakan agama dari Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan, baik pribadi
maupun masyarakat, lahir maupun batin, dan bahkan untuk kepentingan di dunia
dan akhirat. Maka sistim politik Islam, khususnya tentang kepemimpinan,
merupakan amanat dari Allah untuk melaksanakan aturan, undang-undang dan
syari’at Islam.
Jadi
kepemimpinan dalam Islam merupakan bentuk aktifitas politik, yang bertujuan
untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi. Oleh karena itu, pemimpin yang
dipilih semata-mata hanya bertugas untuk menegakkan syari’at dan menerapkan
hukum Allah, sehingga negara dan rakyat meraih kedamaian, penguasa dan rakyat
memperoleh hak-hak secara adil, serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
kondisi yang tenteram dan makmur.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menegaskan: Tujuan pokok kepemimpinan, ialah memperbaiki
agama umat. Sebab, jika jauh dari Dinul Islam, (maka) bangsa akan hancur, nasib
rakyat akan terlantar dan nikmat-nikmat dunia yang mereka miliki akan sia-sia.
Pemimpin juga bertugas memperbaiki segi duniawi yang sangat erat hubungannya
dengan agama, meliputi dua macam:
Pertama,
membagikan harta kekayaan secara merata dan adil kepada yang berhak. Kedua,
menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan undang-undang tanpa
diskriminasi.
Prof. Dr.
Salim bin Ghanim As Sadlan berkata,”Salah satu kewajiban dan wewenang pemimpin
dalam agama Islam, yaitu melaksanakan hukuman setelah diproses secara syar’i
oleh mahkamah agung atas terdakwa pelaku kejahatan yang berhak mendapat
hukuman.”
Syarat-Syarat Pemimpin
Imam al-Mawardi menetapkan tujuh syarat
bagi seorang khalifah atau pemimpin muslim, yaitu:
- Adil
- Berilmu sampai taraf mujtahid
- Sehat jasmani
- Cerdas
- Memiliki kemampuan untuk memimpin
- Berani berkorbnan untuk mempertahankan kehormatan
dan berjihad dengan musuh
- Keturunan Quraisy
Ibnu Khaldun menetapkan syarat khalifah
hanya empat, yaitu:
- Berilmu sampai taraf mujtahid
- Adil
- Kifayah atau memiliki kesanggupan bersiasah
(berpolitik)
Sehat jasmani dan rohani
Makna Kafir
Kafir adalah
sebutan yang diberikan pada orang yang tidak percaya pada Allah dan kehidupan
akhirat serta tidak mengakui kedudukan Nabi Muhammad sebagai Rasul utusan
Allah. Mereka ini jumlahnya amat banyak bahkan hampir sebagian besar dari
penduduk bumi ini. Dari sekitar 7 milyar penduduk bumi ini yang mengaku sebagai
penganut Islam hanya 20 % sekitar 1,5 milyar saja.
80 % penduduk
bumi ini tidak percaya pada Allah, kehidupan akhirat dan Muhammad sebagai
Rasululullah, mereka itulah yang disebut sebagai orang yang kafir.
Pemeluk agama
kristen atau nasrani yang menyatakan Yesus dan ruhul qudus sebagai satu
kesatuan dengan Allah (trinitas ) dengan tegas dinyatakan dalam Qur’an sebagai
orang yang kafir, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 72 :
72. Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang
berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih
(sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun (Al Maidah 72)
Demikian pula
para penyembah berhala (tuhan selain Allah) , yang tidak percaya pada kehidupan
akhirat dan tidak mengakui nabi Muhammad sebagai Rasul atau utusan Allah,
seperti para penganut Hindu, Budha, Shinto, Majusi, Atheis dan lain sebagainya
mereka dikelompokan sebagai orang yang Kafir.
Dalam
syari’at Islam, yang dimaksud dengan orang kafir sebenarnya dibedakan menjadi
empat kelompok:
1. Kafir
Dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap
tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir
seperti ini tidak boleh “diganggu” selama ia masih menaati peraturan-peraturan
yang dikenakan kepada mereka. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut
diantaranya firman Allah Al-‘Aziz Al-Hakim:
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan shogirun (hina, rendah,
patuh)”. (QS. At-Taubah: 29).
2. Kafir Mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi
kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun
waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh diganggu
sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Allah Jalla
Dzikruhu berfirman:
“Maka selama
mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah
(pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.
(QS. At-Taubah : 7).
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kalian telah
mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi dari kalian
sesuatu pun (dari isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang
yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas
waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. ( At-Taubah :
4)
3. Kafir Musta’man, yaitu
orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian
kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh “diganggu” sepanjang masih
berada dalam jaminan keamanan.
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah : 6).
4. Kafir Harby, yaitu
kafir yang secara terang-terangan (atau sembunyi-sembunyi) memusuhi Islam,
melakukan kejahatan-kejahatan melawan Islam dan tindakan-tindakan lain yang
patut dianggap “menyerang” Islam. Jika kepada 3 kelompok kafir di atas Allah
memerintahkan setiap Muslim untuk senantiasa menunjukkan rasa hormat, bahkan
ikut melindungi kerselamatan mereka, maka kafir jenis yang terakhir inilah yang
wajib diperangi menurut ketentuan yang telah digariskan dalam syari’at Islam.
Demikianlah
pembagian orang kafir menurut para ulama seperti syeikh Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’iy, syeikh Ibnu ‘Utsaimin, ‘Abdullah Al-Bassam dan lain-lainnya.
Wallahul Musta’an.
Larangan Memilih
Pemimpin Non Muslim
QS An-Nisa 4:144 menyatakan larangan bagi umat Islam memilih pemimpin
non-muslim "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah
kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?"
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 12/229 mengutip pendapat Qadhi Iyad sbb:
أجمع العلماءُ على أنَّ الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنَّه لو طرأ عليه الكفر
انعزل، وكذا لو ترك إقامةَ الصَّلوات والدُّعاءَ إليها
Artinya: Ulama sepakat bahwa kepemimpinan (imamah) tidak sah dipegang orang
kafir...
Tidak sah-nya kepemimpinan orang kafir itu adalah dalam konteks di negara yang
meyoritas muslim. Adapun apabila di negara yang meyoritas non-muslim maka tentu
saja tidak ada masalah dipimpin oleh orang nonmuslim karena memang mereka yang
berkuasa sebagaimana kasus pada zaman Nabi di mana sebagian Sahabat berhijrah
ke negara non-muslim yang dipimpin orang nonmuslim. Saat itu Rasulullah berkata
pada Sahabat yang hendak berimigrasi ke Habasyah:
اذهبوا الى الحبشة فإن فيها حاكما عادلا لا يظلم عنده أحد
Artinya: Pergilah ke negara Habasyah karena di sana terdapat seorang hakim
(penguasa/pemimpin) yang adil. Tidak akan ada seorang pun yang akan mendzalimi.
Berikut pendapat sejumlah ulama tentang mengangkat pemimpin non-muslim di
negara mayoritas Islam
قال القاضي عياض رحمه الله: "أجمع العلماءُ على أنَّ الإمامة لا تنعقد لكافر،
وعلى أنَّه لو طرأ عليه الكفر انعزل، وكذا لو ترك إقامةَ الصَّلوات والدُّعاءَ
إليها"
وقال ابن المنذِر رحمه الله: إنَّه قد "أجمع كلُّ مَن يُحفَظ عنه مِن أهل
العلم أنَّ الكافر لا ولايةَ له على المسلم بِحال".
وقال ابن حَزم: "واتَّفقوا أنَّ الإمامة لا تجوز لامرأةٍ ولا لكافر ولا
لصبِي".
وقال ابن حجَر رحمه الله: إنَّ الإمام "ينعزل بالكفر إجماعًا، فيَجِب على
كلِّ مسلمٍ القيامُ في ذلك، فمَن قوي على ذلك فله الثَّواب، ومَن داهن فعليه
الإثم، ومن عَجز وجبَتْ عليه الهجرةُ من تلك الأرض".
: رجَّح جمهورُ العلماء أنَّ فِسق الحاكم فسقًا ظاهرًا معلومًا يؤدِّي لِسُقوط
ولايته، ويكون مسوِّغًا للخروج عليه عند أمن إراقة الدِّماء وحدوث الفِتَن؛ وذلك
لأنَّ فسقه قد يُقْعِده عن القيام بواجباته الشَّرعية؛ من إقامة الحدود، ورعاية
الحقوق، وحِفظ دين رعيَّتِه ومعاشهم
Intinya adalah mengangkat pemimpin non-muslim di negara mayoritas muslim
hukumnya haram dan tidak sah.
Namun demikian, ada pendapat dari Ibnu Taimiyah yang secara implisit
membolehkan mengangkap pemimpin non-muslim apabila dia adil dan tidak ada
pemimpin muslim yang dianggap adil.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Amr bil Ma'ruf wan Nahyu anil Munkar menyatakan:
وأمور الناس إنما تستقيم في الدنيا مع العدل الذي قد يكون فيه الاشتراك في بعض
أنواع الإثم أكثر مما تستقيم مع الظلم في الحقوق، وإن لم تشترك في إثم. ولهذا قيل:
" الله ينصر الدولة العادلة وإن كانت كافرة، ولا ينصر الدولة الظالمة ولو
كانت مؤمنة".
Artinya: ... dikatakan bahwa Allah menolong negara yang adil walaupun kafir,
dan tidak akan menolong negara zalim walaupun muslim.
Hukum Memilih Pemimpin
Kafir
Terdapat banyak dalil yang melarang
memilih orang kafir sebagai pemimpin. Diantaranya,
Firman Allah,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Allah tidak akan memberikan jalan
kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukminin.” (QS. an-Nisa: 141).
Al-Qadhi Ibnul Arabi mengatakan,
إنَّ الله سبحانه لا يَجعل للكافرين على المؤمنين سبيلاً بالشَّرع، فإن وجد
فبِخلاف الشرع
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak
akan menjadikan orang kafir untuk menguasai kaum mukminin secara aturan
syariat. Jika itu terjadi, berarti menyimpang dari aturan syariat. (Ahkam
al-Quran, 1/641)
Allahu juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah, taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian.” (QS. an-Nisa:
59)
Kalimat ‘min-kum’ yang artinya diantara
kalian, maknanya adalah diantara kaum muslimin. Sehingga, mereka tidak boleh
memilih pemimpin non-muslim.
Ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat
118, Al-Qurthubi mengatakan,
نَهى الله المؤمنين بِهذه الآية أن يَتَّخِذوا من الكُفَّار واليهود وأهل
الأهواء دُخلاءَ ووُلَجاء يُفاوضونهم في الآراء، ويُسندون إليهم أمورَهم
Allah melarang kaum mukminin,
berdasarkan ayat ini untuk memilih orang kafir, orang yahudi, dan pengikut
aliran sesat untuk dijadikan sebagai orang dekat, orang kepercayaan.
Menyerahkan segala saran dan pemikiran kepada mereka dan menyerahkan urusan
kepada mereka. (Tafsir al-Qurthubi, 4/179).
Ulama Sepakat, Memilih
Pemimpin Kafir, Dilarang
Ulama sepakat, memilih pemimpin kafir
hukumnya terlarang.
Al-Qadhi Iyadh mengatakan,
أجمع العلماءُ على أنَّ الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنَّه لو طرأ عليه الكفر
انعزل
Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan
tidak boleh diserahkan kepada oranng kafir. Termasuk ketika ada pemimpin muslim
yang melakukan kekufuran, maka dia harus dilengserkan. (Syarah Sahih Muslim,
an-Nawawi, 6/315).
Ibnul Mundzir mengatakan,
إنَّه قد “أجمع كلُّ مَن يُحفَظ عنه مِن أهل العلم أنَّ الكافر لا ولايةَ له
على المسلم بِحال
Para ulama yang dikenal telah sepakat
bahwa orang kafir tidak ada peluang untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin
apapun keadaannya. (Ahkam Ahlu Dzimmah, 2/787)
Al-Hafidz Ibnu Hajar bahkan memberikan
keterangan lebih sangar,
إنَّ الإمام “ينعزل بالكفر إجماعًا، فيَجِب على كلِّ مسلمٍ القيامُ في ذلك،
فمَن قوي على ذلك فله الثَّواب، ومَن داهن فعليه الإثم، ومن عَجز وجبَتْ عليه الهجرةُ
من تلك الأرض
Sesungguhnya pemimpin dilengserkan
karena kekufuran yang meraka lakukan, dengan sepakat ulama. wajib kaum muslimin
untuk melengserkannya. Siapa yang mampu melakukan itu, maka dia mendapat
pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan
siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu. (Fathul
Bari, 13/123)
Fatwa-fatwa yang disampaikan para ulama
di atas, berdasarkan hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu,
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا
وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ
أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ
بُرْهَانٌ
“Kami berbaiat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk selalu mendengar dan taat kepada pemimpin, baik dalam suka
maupun benci, sulitan maupun mudah, dan beliau juga menandaskan kepada kami
untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat
kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (Muttafaq
‘alaih)
Hanya saja, perlu diperhatikan, untuk
masalah melengserkan pemimpin non muslim, para ulama memberi catatan, bahwa
upaya itu tidak boleh dilakukan jika memberikan madharat yang besar bagi
masyarakat.
Jika upaya menggulingkan pemerintah bisa
menimbulkan madharat yang besar, menimbulkan kekacauan bahkan banyak korban,
ini jelas tidak diperkenankan.
Namun, setidaknya kalimat ini, menjadi
peringatan, kita tidak boleh memilih pemimpin yang non muslim.
Pernyataan Ibnu
Taimiyah
Beberapa hari ini kami mendapat
pertanyaan seputar perkataan yang dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah –rahimahullah–
yang bunyinya,
حاكم كافر عادل خير عند الله من حاكم مسلم ظالم
“pemimpin kafir yang berlaku adil lebih
baik disisi Allah ketimbang pemimpin muslim yang dzalim”.
Apakah benar pernyataan diatas merupakan
pernyataan Ibnu Taimiyah..?
Apakah Ibnu Taimiyah membolehkan orang kafir menjadi pemimpin dengan syarat
berlaku adil.?
Jawabannya tentu tidak benar, kalimat
diatas sudah mengalami tahrif (perubahan). Memang benar
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan bahwa
فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ
وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى : ” اللَّهُ يَنْصُرُ
الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ
الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً
“Manusia tidak berselisih bahwa balasan
dari perbuatan zalim adalah kebinasaan sementara balasan dari sikap adil adalah
kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa “Allah akan menolong negara
yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim sekalipun
beriman“”.
Bila kita
membaca pernyataan beliau secara utuh di dalam risalah Al Hisbah,
sama sekali tidak ada indikasi bahwa Syaikhul Islam merestui kepemimpinan orang
kafir sekalipun dia adil. Karena hal ini merupakan masaalah pokok yang sudah
difahami dalam islam, dimana agama kita secara tegas menolak kepemimpinan orang
kafir terhadap orang islam. Dan Syaikhul Islam merupakan ulama yang dikenal
tegas dalam masalah ini.
Pernyataan
beliau didalam risalah Al Hisbah adalah penjelasan tentang
pentingnya keadilan serta bahayanya kedzaliman terhadap eksistensi sebuah
bangsa. Karena dalam urusan dunia Allah tidak pilih kasih. Dia memberi rahmat
kepada seluruh makhluk, baik kepada orang mukmin ataupun orang kafir bila ia telah
melakukan ikhtiar. Akan tetapi orang mukmin akan mendapakan balasan kebaikannya
di dunia dan di akhirat, sementara orang kafir hanya akan mendapatkan balasan
kebaikannya di dunia saja. Jadi pertolongan Allah kepada orang-orang kafir
semata-mata nikmat dunia yang disegerakan kepada mereka, tanpa menyisahkan
nikmat tersebut untuk kehidupan akhirat mereka.
Hal ini
semakna dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
إن الله لا يظلم مؤمنا حسنة، يعطى بها في
الدنيا، ويجزى بها في الآخرة، وأما الكافر فيطعم بحسنات ما عمل بها لله في الدنيا،
حتى إذا أفضى إلى الآخرة لم تكن له حسنة يجزى بها. رواه مسلم
“Sesungguhnya
Allah tidak akan menzhalimi seorang mukmin yang berbuat baik. Di dunia dia akan
mendapatkan balasan dan di akhirat ia akan mendapatkan pahala. Sementara itu,
orang kafir (yang berbuat baik) akan diberi kebaikan oleh Allah di dunia,
sementara di akhirat ia tidak akan mendapatkan pahala”. (HR. Muslim)
Jadi tidak
ada yang salah dari pernyataan Ibnu Taimiyah. Tafsirannya saja yang keliru,
karena berangkat dari redaksi yang sudah mengalami perubahan.
Beberapa hari ini kami mendapat
pertanyaan seputar perkataan yang dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah –rahimahullah–
yang bunyinya,
حاكم كافر عادل خير عند الله من حاكم مسلم ظالم
“pemimpin kafir yang berlaku adil lebih
baik disisi Allah ketimbang pemimpin muslim yang dzalim”.
Apakah benar pernyataan diatas merupakan
pernyataan Ibnu Taimiyah..?
Apakah Ibnu Taimiyah membolehkan orang kafir menjadi pemimpin dengan syarat
berlaku adil.?
Jawabannya tentu tidak benar, kalimat
diatas sudah mengalami tahrif (perubahan). Memang benar
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan bahwa
فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ
وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى : ” اللَّهُ يَنْصُرُ
الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ
الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً
“Manusia tidak berselisih bahwa balasan
dari perbuatan zalim adalah kebinasaan sementara balasan dari sikap adil adalah
kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa “Allah akan menolong negara
yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim sekalipun
beriman“”.
Bila kita
membaca pernyataan beliau secara utuh di dalam risalah Al Hisbah,
sama sekali tidak ada indikasi bahwa Syaikhul Islam merestui kepemimpinan orang
kafir sekalipun dia adil. Karena hal ini merupakan masaalah pokok yang sudah
difahami dalam islam, dimana agama kita secara tegas menolak kepemimpinan orang
kafir terhadap orang islam. Dan Syaikhul Islam merupakan ulama yang dikenal
tegas dalam masalah ini.
Pernyataan
beliau didalam risalah Al Hisbah adalah penjelasan tentang
pentingnya keadilan serta bahayanya kedzaliman terhadap eksistensi sebuah
bangsa. Karena dalam urusan dunia Allah tidak pilih kasih. Dia memberi rahmat
kepada seluruh makhluk, baik kepada orang mukmin ataupun orang kafir bila ia
telah melakukan ikhtiar. Akan tetapi orang mukmin akan mendapakan balasan
kebaikannya di dunia dan di akhirat, sementara orang kafir hanya akan
mendapatkan balasan kebaikannya di dunia saja. Jadi pertolongan Allah kepada
orang-orang kafir semata-mata nikmat dunia yang disegerakan kepada mereka,
tanpa menyisahkan nikmat tersebut untuk kehidupan akhirat mereka.
Hal ini
semakna dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
إن الله لا يظلم مؤمنا حسنة، يعطى بها في
الدنيا، ويجزى بها في الآخرة، وأما الكافر فيطعم بحسنات ما عمل بها لله في الدنيا،
حتى إذا أفضى إلى الآخرة لم تكن له حسنة يجزى بها. رواه مسلم
“Sesungguhnya
Allah tidak akan menzhalimi seorang mukmin yang berbuat baik. Di dunia dia akan
mendapatkan balasan dan di akhirat ia akan mendapatkan pahala. Sementara itu,
orang kafir (yang berbuat baik) akan diberi kebaikan oleh Allah di dunia,
sementara di akhirat ia tidak akan mendapatkan pahala”. (HR. Muslim)
Jadi tidak
ada yang salah dari pernyataan Ibnu Taimiyah. Tafsirannya saja yang keliru,
karena berangkat dari redaksi yang sudah mengalami perubahan.
Makna Auliyaa (Wali
dan Kawan Karib)
Sedangkan ayat pengharaman memilih pemimpin non muslim sering beredar menjelang
pemilihan. Sebut saja ayat berikut ini.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا
الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat agamamu
sebagai olok-olok dan mainan baik dari kalangan ahli kitab sebelum kamu maupun
orang kafir sebagai wali. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang yang
beriman.”
Apakah kata “wali” yang dimaksud itu pemimpin? Penerjemahan “wali” inilah,
menentukan jawaban dari yang saudara Abdurrahman pertanyakan. Imam Ala’uddin
Al-Khazin menyebutkan dalam tafsirnya sebagai berikut.
والمعنى لا تتخذوا أولياء ولا أصفياء من غير أهل ملتكم
ثم بين سبحانه وتعالى علة النهي عن مباطنتهم فقال تعالى: لا يَأْلُونَكُمْ خَبالًا
Maknanya, “Janganlah kamu jadikan orang-orang yang tidak seagama denganmu
sebagai wali dan kawan karib.” Allah sendiri menjelaskan alasan larangan untuk
bergaul lebih dengan sehingga saling terbuka rahasia dengan mereka dengan ayat
“Mereka tidak berhenti menjerumuskanmu dalam mafsadat”. (Lihat Al-Khazin, Lubabut
Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut).
Pengertian “wali” di atas ialah teman dekat. Sehingga saking dekatnya, tidak
ada lagi rahasia antara keduanya. Ayat ini turun dalam konteks perang. Sehingga
sangat berisiko bergaul terlalu dekat dengan ahli kitab dan orang-orang musyrik
dalam suasana perang karena ia dapat mengetahui segala taktik perang, pos
penjagaan, dapur umum, dan segala strategi dan rencana perang yang dapat
membahayakan pertahanan umat Islam. Sementara komunitas-komunitas sosial saat
itu berbasis agama.
Karenanya, mencermati ketarangan ulama di atas kita akan menemukan tidak
sambung dan tidak tepat kalau ayat ini dijadikan dalil sebagai pengharaman atas
pengangkatan calon pemimpin dari kalangan non muslim. Menurut hemat kami,
kitab-kitab terjemah Al-Quran yang mengartikan “wali” sebagai pemimpin ada
baiknya menelaah kembali tafsir-tafsir Al-Quran.
Menasihati Penguasa
Bukan Membangkang
Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin, bahkan mempunyai
kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan; sebab, pemimpin tidak sama
dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin, secara umum memerlukan kaidah
dan etika, maka menasihati para pemimpin lebih perlu memperhatikan kaidah dan
etikanya.
Dari Ibnu Hakam meriwayatkan,
bahwa Nabi bersabda,”Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan
melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi, nasihatilah dia di tempat
yang sepi. Jika menerima nasihat, itu sangat baik. Dan bila tidak menerimanya,
maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” [HR Imam Ahmad].
Imam Ibnu Hajar berkata,
bahwa Usamah telah menasihati Utsman bin Affan dengan cara yang sangat
bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan fitnah dan keresahan.
Imam Syafi’i berkata,”Barangsiapa
yang menasihati temannya dengan rahasia, maka ia telah menasihati dan
menghiasinya. Dan barangsiapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka
ia telah mempermalukan dan merusaknya.”
Imam Fudhail bin
Iyadh berkata,”Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia; dan orang jahat
menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.”
Syaikh bin Baz berkata,”Menasihati
para pemimpin dengan cara terang-terangan melalui mimbar-mimbar atau
tempat-tempat umum, bukan (merupakan) cara atau manhaj Salaf. Sebab, hal itu
akan mengakibatkan keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan
tetapi, (cara) manhaj Salaf dalam menasihati pemimpin yaitu dengan
mendatanginya, mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal
untuk menyampaikan nasihat tersebut.”
Maraji:
– Al Ahkamus Sulthaniyah, karya Imam Abu Hasan Al Mawardi.
– As Siyasah Asy Syar’iyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
– Ath Thuruqul Hukmiyah Fi Siyasah Asy Syar’iyah, karya Ibnu Qayyim.
– Ash Shahwah Islamiyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
– Al Muntaqa Fi Fatawa, Syaikh Fauzan.
– Hakiqatul Amr Bil Ma’ruf Wan Nahyu ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin Nasir Al
Ammar.
– Muraja’at Fi Fiqhil Waqi Asy Syiyasi Wal Fikri, Syaikh Bin Baz, Syaikh Fauzan
dan Syaikh Shalih Sadlan.
Doc. Rahmat Hidayatullah, M. Pd.I